KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
INDONESIA
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sesuatu yang mesti ada dalam hidup dan
kehidupan dan ia adalah way of live, suatu jalan hidup manusia. Dan ada asumsi
life is education and eduction is life dalam arti pendidikan merupakan
persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia
adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak
mengembangkan pandangan hidup islami yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup
dan keterampilan hidup orang Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan sesuai dengan masuknya
ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para penyebar
agama melalui jalur perdagangan. Para penyebar agama yang notabene sebagai
pedagang tersebut, telah melakukan hubungan dan komunikasi dengan para pribumi
di Bandar-bandar yang didatangi oleh pedagang, dengan membawa nilai-nilai islam
dalam hidup dan kehidupannya, sehingga banyak dari warga pribumi yang memeluk
agama Islam. Islam tidak hanya dalam teori-teori saja, namun diaplikasikan oleh
para penyebar agama dan berkembang untuk menanamkan agama kepada anak
keturunannya. Pendidikan sebagai sarana untuk mengkristalisasikan nilai-nilai
agama pada generasi baru yang akan menggantikan para praktisi-praktisi pada
zamannya.
Pendidikan Islam yang berkembang dari awal masuknya ke Indonesia,
telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren merupakan sarana
pendidikan Islam yang pertama ada di Indonesia. Pendidikan Islam telah
berlangsung lama dan telah mampu mengambil hati para masyarakat, sehingga
penduduk Indonesia hampir 100 % menganut agama Islam, hal ini merupakan salah satu jasa dari pendidikan. Waktu tetap berjalan dan pendidikan Islam telah
menempati posisi kedua setelah pendidikan umum. Pendidikan umum atau sekuler
telah berkembang dari politik etis yang dilakukan oleh pihak penjajah sebagai
balas jasa atas kebaikan-kebaikan yang telah diambil dari bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana perhatian pemerintah terhadap perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini, kami kelompok satu akan membahas
apa pengertian pendidikan agama Islam, urgensi dan ruang lingkup serta
kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan agama Islam.
B.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung setidak –tidaknya
tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al diniyah (pendidikan
keagamaan), ta’lim al- din (pengajaran agama), ta’lim al-diny
(pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman), tarbiyah
al- muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam
(pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan
dikalangan orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan
Islam).[1]
Dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama
Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa/ peserta didik dalam meyakini,
memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama
lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional.[2]
Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan
menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan
dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah
di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[3]
b.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
Visi dasar pendidikan nasional adalah bagaimana agar manusia Indonesia cerdas dan memiliki keunggulan
dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan nasional yang dirumuskan
dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual (olah Hati) dirumuskan
dengan beraktualisasi diri melalui hati/
kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia
termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Kedua, cerdas emosional dan social (olah rasa). Beraktualisasi diri
melalui olah rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiasi akan kehalusan
dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
Beraktualisasi diri melalui interaksi social yang membina dan memupuk hubungan
timbal balik, demokrasi, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi
manusia,eria dan percaya diri, menghargai kebinekaa dalam bermasyarakat dan
bernegara serta berwawasan serta kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.
Ketiga, cerdas intelektual (olah piker). Beraktualisasi diri melalui olah piker untuk memperoleh
kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktualisasi
insane intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Keempat, kompetitif berkepribadian unggul dan gandrung akan
keunggulan dan bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangunan
dan pembinaan jejaring,bersahabat dengan perubahan, produktif, sadar mutu,
berorientasi global, pembelajaran spanjang hayat.[4]
Adapun secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk “Meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peseerta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[5]
Dari tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak
ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam,
yaitu:
1.
Dimensi
keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2.
Dimensi
pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap
ajaran agama Islam
3.
Dimensi
penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam
menjalankan ajaran Islam dan
4.
Dimensi
pengamalannya, dalam arti bagaimana
ajaran Islam yang telah diimani, pahami dan dihayati atau
diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya
untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya
dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Singkatnya dari uraian diatas adalah agar siswa/ peserta didik
memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.[6]
c.
Urgensi Pendidikan Agama Islam
Proses
pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Praksis
pendidikan yang merupakan kesatuan antarteori dan praktik meliputi
unsur-unsur sebagai berikut: dalam
lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan
program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Disamping
aspek-aspek teoritis terdapat aspek pelaksanaan atau praktik dari tindakan
pendidikan.[7]
Agama
Islam adalah agama samawi, agama yang datang dari langit merupakan wahyu dari
Allah swt untuk kehidupan umat manusia. Perlu banyak pemikiran agar nilai-nilai
ilahiyah dapat dijustifikasikan/ diamalkan oleh umat manusia sebagai pedoman
dan dasar dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu pembelajaran agama
Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar,
terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari
agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang
benar maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan.[8]
M.
Tholhah Hasan mengatakan, bahwa tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan
menjadi tiga macam, yaitu:
1)
Untuk
meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia
2)
Untuk
mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia
3)
Untuk
menyelaraskan perjalanan fitrah mukhallaqah
(fitrah yang diciptakan oleh Allah swt pada manusia, yang berupa naluri,
potensi jismiyah, nafsiyah, aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu
fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan
hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupan, sehingga manusia dapat lestari
hidup di atas jalur yang benar, atau di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”.[9]
d.
Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
• Ruang Lingkup Dinul Islam
Ruang lingkup dinul Islam mencakup sarana dan
prasarana, amalan ibadah dan batas-batas dinul Islam. Sarana dan prasarana apa
saja yang dibutuhkan, amalan ibadah yang bagaimana yang harus dikerjakan serta
batas-batas mana yang wajib dijauhi oleh setiap muslim, inilah ruang lingkup
dinul Islam. Untuk mengetahui ruang lingkup dinul Islam, berikut ini diuraikan
sebuah Hadist Rasulullah SAW serta sejarah disabdakannya (as babul wurudnya)
:
• ”Pada suatu hari, kami (Sayyidina Umar r.a.
dan para Sahabat) duduk – duduk bersama Rasulullah SAW, lalu muncul dihadapan
kami seroang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak
tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia
langsung duduk menghadap Rasulullah dan kedua telapak tangannya diletakkan
diatas paha Rasulullah SAW, seraya berkata : ”Ya Muhammad, beritahu aku tentang
Islam.” lalu Rasulullah SAW menjawab : ”Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan dan mengerjakan haji apabila mampu.” Setelah itu dia
bertanya lagi : ”Kini beritahu aku tentang iman.” Rasulullah SAW menjawab :
”Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
hari kiamat dan beriman kepada qadar baik dan buruknya.” orang itu lantas
berkata : ”Beritahu aku tentang ikhsan.” Rasulullah menjawab : ”Beribadah
kepada Allah seolah-lah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya,
kerena sesungguhnya Allah melihat anda.” Dia bertanya lagi : ”Beritahu aku
tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab : ”Yang ditanya tidak lebih
tahu dari yang bertanya.” setelah itu dia betanya lagi : ”Beritahu aku tentang
tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab : ”Seorang budak wanita melahirkan nyonya
besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala
unta masing-masing berlomba membangun gedung – gedung bertingkat.” setelah itu
oran gitu pergi menghilang dari padangan mata, lalu Rasulullah SAW bertanya
kepada Sayyidina Umar r.a. : ”Hai Umar, tehukah kamu siapa orang yang bertanya
tadi?” lalu aku (Umar r.a.) menjawab : ”Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.”
Rasulullah SAW lantas berkata : ”Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama
kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dari kisah tersebut dapat diketahui bahwa ruang
lingkup dinul Islam meliputi rukun Islam, rukun iman dan ihsan. Ihsan merupakan
masalah pengabdian, ketaatan kepada Allah, Rasul dan sesama makhluk. Ibadah ’am
(umum) atau setiap ibadah termasuk dalam ihsan yang menumbuhkan takwa,
keikhlasan dan kesadaran. Peringatan Rasulullah SAW tentang hancurnya
lingkungan akibat umat lalai terhadap hari akhir.
• Perhatikan Firman Allah SWT :
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu, (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklat (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuata kerusakan
di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al-Qasas : 77)
Adapun yang menjadi batas-batas dinul Islam ialah segala yang berakibat kerusakan, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dan lingkungan. Demikian juga yang dilarang dan diharamkan sebab semua itu mendatangkan kerusakan.
• Bersabda Rasulullah SAW “ :”..... dan
sesungguhnya bagi setiap Raja memiliki batas berupa larangannya. Ingatlah
larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya....” (HR. Bukhari dan Muslim)
• Ciri – Ciri Dinul Islam.
Dinul Islam memiliki ciri-ciri khusus yang
menunjukkan adanya perbedaan agama Islam dengan agama lainnya di dunia ini.
Ciri-cirinya adalah Islam sebagai agama fitrah, penyempurnaan agma lain,
pendorong kemajuan dan sebagai pedoman hidup.[10]
Dalam
mencapai tujuan, pendidikan agama Islam
pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu al-qur’an –hadis, keimanan,
syari’ah, ibadah, mu’amalah,, akhlak dan tarikh Sejarah Islam) yang menekankan
pada perkembangan politik
Tujuah
unsure pokok tersebut dapat dilihat kaitannya dalam skema dibawah ini:
Islam
|
|||||
A.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Agama Islam
Kebijakan Negara/
pemerintah mengenai pendidikan Islam tergambar dari berbagai produk perundangan
dan ketentuan pemerintah, baik dalam bentuk pengaturan dan pengawasan maupun
fasilitas dari pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan agama
Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember
1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang
sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan
agama dimulai pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada
masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri
tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih
banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk
Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari
Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama.
Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana
kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana
pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan
dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen
Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB
yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari
1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya
adalah:
1.
Pendidikan agama mulai
diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2.
Di daerah-daerah yang
masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I
SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan
dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
3.
Di sekolah lanjutan
pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam
seminggu.
4.
Pendidikan agama
diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat
izin dari orang tua atau wali.
5.
Pengangkatan guru agama,
biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen
Agama.
Untuk menyempurnakan
kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar
Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada
tahun 1952.
Pada tanggal 2 April
1950 ditetapkan Undang-Undang tentang Dasar-Dasar tentang pendidikan dan
pengajara di sekolah, yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1950. Undang-Undang
tersebut mengatur masalah pengajaran agama
disekolah negeri seperti yang
dinyatakan dalam pasal 20 bahwa: “Dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, dan orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti mata pelajaran tersebut. Cara penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran agama disekolah negeri diatur dalam peraturan yang
ditetapkan oleh menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama dengan
menteri agama.”
Untuk melaksanakan
Undang-undang No. 4 Tahun 1950, dan sejalan dengan peraturan bersama yang
dikeluarkan menteripendidikan, pengajaran dan kebudayaan dengan menteri agama
pada 12 Desember 1946, selanjutnya dikeluarkan pula peraturan bersama kedua
menteri tersebut No. K/1 / 1980 (Agama) dan No. 17678/ Kab (Pendidikan) pada
tanggal 16 Juni 1951 yang menetapkan:
1. Disekolah-sekolah rendah, pendidikan agama diberikan mulai dari kelas empat
sebanyak dua jam pelajaran setiap minggu.
2. Di lingkungan istimewa, pengajaran agama dapat dimulai sejak kelas 1 (satu)
dan dapat ditambah jam pelajarannya menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi
dari empat jam pelajaran setiap minggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan
umum pada sekolah-sekolah rendah tersebut tidak boleh kurang dibandingkan
dengan sekolah rendah pada lingkungan lain.
3. Pendidikan agama baru dapat diberikan pada satu kelas yang mempunyai murid
sekurang-kurangnya sepuluh orang yang menganut suatu macam agama.[11]
Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 jo
Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 dan SKb tiga menteri tersebut merupakan
landasan ditetapkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam Sistem Pendidikan Nasional ditegaskanbahwa pendidikan agama,
pendidikan kewargaan, dan Pancasila merupakan mata pelajaranwajib disekolah
umum (pasal 20).
Demikian juga dalam
sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut:
“Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan
syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan
kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk
budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal
tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan
pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali
murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS
melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental
G-30 S/ PKI. Dalam TAP MPRS No. XXVII Tahun 1966 keputusannya di bidang pendidikan agama telah
mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan
yang terdahulu (dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam
pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya).
Dengan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para
siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh
Indonesia.[12]
Hal inai merupakan kebijakan yang
menjadi dasar dalam menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan di sekolah
negeri seperti yang dinyatakan undang-undang system pendidikan selanjutnya.
Dari beberapa pemaparan
di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde
Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB
dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam
memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa pemerintah pada
masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak sekali perubahan
sejak masa awal kemerdekaan sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini.
Perubahan yang terjadi melputi aspek kelembagaan, yaitu mulai manajemen pendidikan dan pembelajaran di
bawah otoritas penuh seorang kyai sampai pada model manajemen terkini.
Disamping itu terjadi perubahan pada system pendidikan yang diterapkan. Perubahan tersebut antara
lain ditandai oleh perubahan pola dan model pendidikan pesantren salafiyah yang
sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh
fiddin, kepada bentuk madrasah ala
Indonesia, yaitu sekolah yang memasukkan
kurikulum umum di luar pengetahuan agama, sampai kepada bentuk sekolah Islam unggulan.
Selain itu juga terjadi perubahan pada kurikulum yang menjadi inti
pemikiran dan transfer ilmu dilembaga pendidikan Islam. Perubahan
juga terjadi pada aspek metode pembelajaran serta kompetensi guru yang
mengajar.[13]
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama juga dapat dilihat
dalam PP 55 TAHUN 2007 Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:
(1)
Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai
Standar Nasional Pendidikan.
(2)
Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap
perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3)
Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk
taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan
agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4)
Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan,
kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan
terhadap pemeluk agama lain.
(5)
Pendidikan agama membangun sikap mental
peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja
keras, mandiri, percaya diri, kompetitif,
kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6)
Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis,
inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki
kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7)
Pendidikan agama diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan
kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8)
Satuan pendidikan dapat menambah muatan
pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9)
Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Paparan ayat-ayat dari pasal 5 UU no 55 tahun 2007, merupakan perhatian
pemerintah terhadap agama yang ada di Negara Indonesia dalam memberikan
kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran serta pendidikan agama
bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa bangsa Indonesia harus
meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Negara yang termaktub
dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demikian pula
kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam, yang
melingkupi kebanyakan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun
2007 pada pasal 14; ayat 1,2,3:
(1)
Pendidikan keagamaan Islam berbentuk
pendidikan diniyah dan pesantren.
(3)
Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau
berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal.
Adapun kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama Islam untuk jalur
formal dapat dilihat dari pasal 15;pasal 16; ayat 1, 2, 3
dan pasal 17; ayat 1, 2, 3, 4 pasal 18;
ayat 1, 2 pasal 19; ayat 1, 2 dan pasal 20; ayat 1, 2, 3, 4 :
Pasal 15
Pendidikan
diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1)
Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan
pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan
pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3
(tiga) tingkat.
(2)
Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan
pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga)
tingkat.
(3)
Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara
pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
tahun.
(2)
Dalam hal daya tampung satuan pendidikan
masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima
sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan
diniyah dasar atau yang sederajat.
(4)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah
menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1)
Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib
belajar.
(2)
Kurikulum pendidikan diniyah menengah
formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1)
Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan
menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta
didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang ujian
nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber
dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1)
Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan
tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk
universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam
selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan
kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3)
Mata kuliah dalam kurikulum program studi
memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi
diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
Walaupun demikian pendidikan agama Islam
masih dianggap sebagai pendidikan alternatif, merupakan pilihan kedua setelah
pendidikan umum/ sekuler. Hal ini karena masih banyak masyarakat yang memandang
pendidikan agama Islam dengan sebelah mata, salah satunya adalah prospek ke
depan, apa dan mau kemana lulusan institusi pendidikan Islam? Mampukah lulusan ini mengejar lulusan sekolah
umum/ sekuler yang telah menguasai saint dan teknologi?
Bila kita telaah sesungguhnya perkembangan
pendidikan agama Islam, cukup mengalami
kemajuan (walaupun tidak dikatakan lambat), dengan dibuktikan telah banyak
putra bangsa yang mendapatkan gelar doktor dan profesor, dan institusi
perguruan tinggi Islam telah mengintegrasikan diri dengan umum, seperti adanya
6 IAIN yang telah berubah menjadi UIN. Sehingga diharapkan para lulusan UIN
akan menjadi ilmuwan-ilmuwan yang dapat diandalkan dengan dibarengi dasar
keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Yang dalam hidup dan kehidupannya nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dan
apresiasikan dalam masyarakat dan menjadi tauladan bagi umat manusia.
C. PENUTUP
Pendidikan sangat penting bagi kehidupan.
Pendidikan merubah budaya dan peradaban umat manusia. Pembicaraan seputar Islam
dan pendidikan tetap menarik dan tak ada habis-habisnya selagi sejarah umat
manusia masih ada. Pendidikan Islam sering manjadi perbincangan dalam skala
besar maupun kecil, dimeja makan maupun di seminar-seminar, tetap tidak membuat
jenuh yang mendiskusikannya, karena senantiasa berkembang dan akan selalu eksis,
terutama terkait dengan upaya membangun
sumber daya manusia muslim.
Pendidikan Islam sebagai sub dari
pendidikan Nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang
Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan
ciri kualitas manusia indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan
pendidikan Nasional.
Pemerintah telah banyak memberikan
fasilitas, walaupun dari sisi lain masih kurang mengena. Namun telah kita
rasakan dari berbagai kebijakan-kebijakan yang ada, baik itu berupa SKB maupun
UU tentang pendidikan agama dan keagamaan. Inilah kesempatan bagi umat beragama
lebih khusus lagi umat Islam untuk memanfaatkan dan mengaplikasikan
kebijakan-kebijakan yang telah disediakan.
DAFTAR PUSTAKA
http://mpiuika.wordpress.com.kebijakan-pendidikan-islam .5 april 2011
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Bandung, Rosda, 2001
__________, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali
Press, 2009
Shaleh , Abdul Rachman, pendidikan Agama Dan Keagamaan; Visi,
Missi Dan Aksi, Jakarta, GEmawindu, 2000
Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan,Kediri,
Jenggala Pustaka Utama, 2008
Tilaar,H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar
Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan
Kebijakan Sebagai Kebijakan Public,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
[1]
Muhaimin, Paradigm Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),
h. 36
[2]
Ibid, h. 75
[3]
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan; Visi, Missi Dan Aksi,
(Jakarta, Gemawindu, 2000), h. 2
[4]
Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan, (Kediri, Jenggala
Pustaka Utama, 2008), h. 86
[5]
Muhaimin, Op. Cit., h. 78
[6]Ibid., h. 78
[7]
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Sebagai Kebijakan Public,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 137
[8]
Muhaimin, Op. Cit.,h. 183
[9]
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.
255
[11]
Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan,
Jakarta: Rajawalipress, 2009, h. 127
[13]
Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan,
Jakarta: Rajawalipress, 2009, h.194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar