Selasa, 29 Mei 2012

orang yang beriman selalu akur dengan siapa saja karena hatinya selalu bersih dari pikiran -pikiran yang membawa kepada kehancuran moral. oleh sebab itu sedianya manusia yang masih hidup da yang memiliki akal ini beriman dan mengucapkan laa ilaha illallah muhammad rosulullah, dengan mengucapkan kalimat ini, maka konsekwensinyaa harus selalu menjaga hati agar senantiasa bersih dari selain Allah swt.  yakin bahwasanya tiada yang disembah selain Allah swt. dan hati senantiasa tawajuh kepada yang maha kuasa . yakin yang membahagiakan adalah Allah swt. uang tidak dapat membahagiakan manusia, yang membahagiakan manusia adalah Allah, uang bisa membahagiakan manusia berhajat kepada Allah, Allah bila hendak membahagiakan manusia tidak berhajat kepad a uang, bila Allah berkendak  dengan uang manusia bahagia dan bila Allah berkehendak tanpa uang manusia dapat bahagai. makanan tidak dapat mengenyangkan, yang mengenyangkan hanya Allah, makanan dapat mengenyangkan berhajat kepada Allah, Allah bila hendak mengeyangkan tidak butuh kepada makanan, bila Allah berkehendak dengan makanan manusia dapat enyang dan bila Allah berkehendak tanpa makanan anusia dapat kenyang. inilah hakekat kalimat laa ilaha illallah.

transliterasi


PEDOMAN TRANSLITERASI


A.    Transliterasi Arab – Latin


Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا

Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
ha dengan garis di bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
d
de dengan garis di bawah
ط
t
te dengan garis di bawah
ظ
z
zet dengan garis di bawah
ع
Koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
qi
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
ه
h
ha
ء
apostrof
ي
y
ye


B.     Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliternya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_ا _ى
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas

Pedoman Transliterasi ini dimodifikasi dari: Tim Puslitbang Lektur Keagamaan, Pedoman Transliterasi Arab – Latin, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2003.

Selasa, 17 Januari 2012

makalah KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA



KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
A.                PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sesuatu yang mesti ada dalam hidup dan kehidupan dan ia adalah way of live, suatu jalan hidup manusia. Dan ada asumsi life is education and eduction is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan sesuai dengan masuknya ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para penyebar agama melalui jalur perdagangan. Para penyebar agama yang notabene sebagai pedagang tersebut, telah melakukan hubungan dan komunikasi dengan para pribumi di Bandar-bandar yang didatangi oleh pedagang, dengan membawa nilai-nilai islam dalam hidup dan kehidupannya, sehingga banyak dari warga pribumi yang memeluk agama Islam. Islam tidak hanya dalam teori-teori saja, namun diaplikasikan oleh para penyebar agama dan berkembang untuk menanamkan agama kepada anak keturunannya. Pendidikan sebagai sarana untuk mengkristalisasikan nilai-nilai agama pada generasi baru yang akan menggantikan para praktisi-praktisi pada zamannya.
Pendidikan Islam yang berkembang dari awal masuknya ke Indonesia, telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren merupakan sarana pendidikan Islam yang pertama ada di Indonesia. Pendidikan Islam telah berlangsung lama dan telah mampu mengambil hati para masyarakat, sehingga penduduk Indonesia hampir 100 % menganut agama Islam, hal ini merupakan  salah satu jasa dari pendidikan. Waktu  tetap berjalan dan pendidikan Islam telah menempati posisi kedua setelah pendidikan umum. Pendidikan umum atau sekuler telah berkembang dari politik etis yang dilakukan oleh pihak penjajah sebagai balas jasa atas kebaikan-kebaikan yang telah diambil  dari bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana perhatian pemerintah terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini, kami kelompok satu akan membahas apa pengertian pendidikan agama Islam, urgensi dan ruang lingkup serta kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan agama Islam.
B.                 PEMBAHASAN
a.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung setidak –tidaknya tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al- din (pengajaran agama), ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman), tarbiyah al- muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam).[1]
Dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa/ peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[2] Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[3]

b.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Visi dasar pendidikan nasional adalah bagaimana agar manusia  Indonesia cerdas dan memiliki keunggulan dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual (olah Hati) dirumuskan dengan beraktualisasi diri  melalui hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Kedua, cerdas emosional dan social (olah rasa). Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Beraktualisasi diri melalui interaksi social yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokrasi, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,eria dan percaya diri, menghargai kebinekaa dalam bermasyarakat dan bernegara serta berwawasan serta kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.
Ketiga, cerdas intelektual (olah piker). Beraktualisasi  diri melalui olah piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktualisasi insane intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Keempat, kompetitif berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan dan bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangunan dan pembinaan jejaring,bersahabat dengan perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajaran spanjang hayat.[4]
Adapun secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan  untuk “Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peseerta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[5] Dari tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:
1.            Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2.            Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
3.            Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan  ajaran Islam dan
4.            Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana  ajaran Islam yang telah diimani, pahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Singkatnya dari uraian diatas adalah agar siswa/ peserta didik memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.[6]
c.       Urgensi Pendidikan Agama Islam
Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Praksis pendidikan yang merupakan kesatuan antarteori dan praktik meliputi unsur-unsur  sebagai berikut: dalam lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Disamping aspek-aspek teoritis terdapat aspek pelaksanaan atau praktik dari tindakan pendidikan.[7]
Agama Islam adalah agama samawi, agama yang datang dari langit merupakan wahyu dari Allah swt untuk kehidupan umat manusia. Perlu banyak pemikiran agar nilai-nilai ilahiyah dapat dijustifikasikan/ diamalkan oleh umat manusia sebagai pedoman dan dasar dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu pembelajaran agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan.[8]
M. Tholhah Hasan mengatakan, bahwa tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan menjadi  tiga macam, yaitu:
1)      Untuk meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia
2)      Untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia
3)      Untuk menyelaraskan perjalanan fitrah  mukhallaqah (fitrah yang diciptakan oleh Allah swt pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah, aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupan, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur yang benar, atau di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”.[9]





d.      Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
• Ruang Lingkup Dinul Islam
Ruang lingkup dinul Islam mencakup sarana dan prasarana, amalan ibadah dan batas-batas dinul Islam. Sarana dan prasarana apa saja yang dibutuhkan, amalan ibadah yang bagaimana yang harus dikerjakan serta batas-batas mana yang wajib dijauhi oleh setiap muslim, inilah ruang lingkup dinul Islam. Untuk mengetahui ruang lingkup dinul Islam, berikut ini diuraikan sebuah Hadist Rasulullah SAW serta sejarah disabdakannya (as babul wurudnya) :
• ”Pada suatu hari, kami (Sayyidina Umar r.a. dan para Sahabat) duduk – duduk bersama Rasulullah SAW, lalu muncul dihadapan kami seroang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah dan kedua telapak tangannya diletakkan diatas paha Rasulullah SAW, seraya berkata : ”Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” lalu Rasulullah SAW menjawab : ”Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan mengerjakan haji apabila mampu.” Setelah itu dia bertanya lagi : ”Kini beritahu aku tentang iman.” Rasulullah SAW menjawab : ”Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada qadar baik dan buruknya.” orang itu lantas berkata : ”Beritahu aku tentang ikhsan.” Rasulullah menjawab : ”Beribadah kepada Allah seolah-lah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, kerena sesungguhnya Allah melihat anda.” Dia bertanya lagi : ”Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab : ”Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” setelah itu dia betanya lagi : ”Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab : ”Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung – gedung bertingkat.” setelah itu oran gitu pergi menghilang dari padangan mata, lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Sayyidina Umar r.a. : ”Hai Umar, tehukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” lalu aku (Umar r.a.) menjawab : ”Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.” Rasulullah SAW lantas berkata : ”Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dari kisah tersebut dapat diketahui bahwa ruang lingkup dinul Islam meliputi rukun Islam, rukun iman dan ihsan. Ihsan merupakan masalah pengabdian, ketaatan kepada Allah, Rasul dan sesama makhluk. Ibadah ’am (umum) atau setiap ibadah termasuk dalam ihsan yang menumbuhkan takwa, keikhlasan dan kesadaran. Peringatan Rasulullah SAW tentang hancurnya lingkungan akibat umat lalai terhadap hari akhir.
• Perhatikan Firman Allah SWT :
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu, (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklat (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuata kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas : 77)

Adapun yang menjadi batas-batas dinul Islam ialah segala yang berakibat kerusakan, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dan lingkungan. Demikian juga yang dilarang dan diharamkan sebab semua itu mendatangkan kerusakan.
• Bersabda Rasulullah SAW “ :”..... dan sesungguhnya bagi setiap Raja memiliki batas berupa larangannya. Ingatlah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya....” (HR. Bukhari dan Muslim)

• Ciri – Ciri Dinul Islam.
Dinul Islam memiliki ciri-ciri khusus yang menunjukkan adanya perbedaan agama Islam dengan agama lainnya di dunia ini. Ciri-cirinya adalah Islam sebagai agama fitrah, penyempurnaan agma lain, pendorong kemajuan dan sebagai pedoman hidup.[10]
Dalam mencapai tujuan, pendidikan  agama Islam pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu al-qur’an –hadis, keimanan, syari’ah, ibadah, mu’amalah,, akhlak dan tarikh Sejarah Islam) yang menekankan pada perkembangan politik
Tujuah unsure pokok tersebut dapat dilihat kaitannya dalam skema dibawah ini:



Islam









al-qur’an –hadis
 





 









A.                Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Agama Islam      
Kebijakan Negara/ pemerintah mengenai pendidikan Islam tergambar dari berbagai produk perundangan dan ketentuan pemerintah, baik dalam bentuk pengaturan dan pengawasan maupun fasilitas dari pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai  pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947  yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
1.                  Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2.                  Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
3.                  Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.
4.                  Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.
5.                  Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Pada tanggal 2 April 1950 ditetapkan Undang-Undang tentang Dasar-Dasar tentang pendidikan dan pengajara di sekolah, yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1950. Undang-Undang tersebut mengatur masalah pengajaran agama  disekolah negeri  seperti yang dinyatakan dalam  pasal 20 bahwa: “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, dan orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti mata pelajaran tersebut. Cara penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama disekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama dengan menteri agama.”
Untuk melaksanakan Undang-undang No. 4 Tahun 1950, dan sejalan dengan peraturan bersama yang dikeluarkan menteripendidikan, pengajaran dan kebudayaan dengan menteri agama pada 12 Desember 1946, selanjutnya dikeluarkan pula peraturan bersama kedua menteri tersebut No. K/1 / 1980 (Agama) dan No. 17678/ Kab (Pendidikan) pada tanggal 16 Juni 1951 yang menetapkan:
1.      Disekolah-sekolah rendah, pendidikan agama diberikan mulai dari kelas empat sebanyak dua jam pelajaran setiap minggu.
2.      Di lingkungan istimewa, pengajaran agama dapat dimulai sejak kelas 1 (satu) dan dapat ditambah jam pelajarannya menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi dari empat jam pelajaran setiap minggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum pada sekolah-sekolah rendah tersebut tidak boleh kurang dibandingkan dengan sekolah rendah pada lingkungan lain.
3.      Pendidikan agama baru dapat diberikan pada satu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya sepuluh orang yang menganut suatu macam agama.[11]
 Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 dan SKb tiga menteri tersebut merupakan landasan ditetapkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Sistem Pendidikan Nasional ditegaskanbahwa pendidikan agama, pendidikan kewargaan, dan Pancasila merupakan mata pelajaranwajib disekolah umum (pasal 20).
Demikian juga dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam TAP MPRS No. XXVII Tahun 1966  keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu (dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya). Dengan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.[12] Hal inai merupakan kebijakan  yang menjadi dasar dalam menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan di sekolah negeri seperti yang dinyatakan undang-undang system pendidikan selanjutnya.
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak sekali perubahan sejak masa awal kemerdekaan sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini. Perubahan yang terjadi melputi aspek kelembagaan, yaitu mulai  manajemen pendidikan dan pembelajaran di bawah otoritas penuh seorang kyai sampai pada model manajemen terkini. Disamping itu terjadi perubahan pada system pendidikan  yang diterapkan. Perubahan tersebut antara lain ditandai oleh perubahan pola dan model pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan  pada tafaqquh fiddin,  kepada bentuk madrasah ala Indonesia,  yaitu sekolah yang memasukkan kurikulum umum di luar pengetahuan agama, sampai kepada bentuk sekolah Islam unggulan. Selain itu juga terjadi perubahan pada kurikulum yang menjadi inti pemikiran  dan transfer  ilmu dilembaga pendidikan Islam. Perubahan juga terjadi pada aspek metode pembelajaran serta kompetensi guru yang mengajar.[13]
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama juga dapat dilihat dalam PP 55 TAHUN 2007  Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:
(1)               Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2)               Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3)               Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4)               Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5)               Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif,  kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6)               Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7)               Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8)               Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9)               Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.

Paparan ayat-ayat dari pasal 5 UU no 55 tahun 2007, merupakan perhatian pemerintah terhadap agama yang ada di Negara Indonesia dalam memberikan kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran serta pendidikan agama bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa bangsa Indonesia harus meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demikian pula kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam, yang melingkupi kebanyakan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun 2007 pada pasal 14; ayat 1,2,3:
(1)               Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(3)               Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Adapun kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama Islam untuk jalur formal dapat dilihat dari pasal 15;pasal 16; ayat 1, 2, 3 dan pasal 17; ayat 1, 2, 3, 4  pasal 18; ayat 1, 2 pasal 19; ayat 1, 2 dan pasal 20; ayat 1, 2, 3, 4 :

Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 16
(1)               Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2)               Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3)               Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 17
(1)               Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2)               Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3)               Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4)               Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.

Pasal 18
(1)               Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2)               Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.

Pasal 19
(1)               Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2)               Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.

Pasal 20
(1)               Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2)               Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3)               Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4)               Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

Walaupun demikian pendidikan agama Islam masih dianggap sebagai pendidikan alternatif, merupakan pilihan kedua setelah pendidikan umum/ sekuler. Hal ini karena masih banyak masyarakat yang memandang pendidikan agama Islam dengan sebelah mata, salah satunya adalah prospek ke depan, apa dan mau kemana lulusan institusi pendidikan Islam?  Mampukah lulusan ini mengejar lulusan sekolah umum/ sekuler yang telah menguasai saint dan teknologi?
Bila kita telaah sesungguhnya perkembangan pendidikan agama Islam, cukup  mengalami kemajuan (walaupun tidak dikatakan lambat), dengan dibuktikan telah banyak putra bangsa yang mendapatkan gelar doktor dan profesor, dan institusi perguruan tinggi Islam telah mengintegrasikan diri dengan umum, seperti adanya 6 IAIN yang telah berubah menjadi UIN. Sehingga diharapkan para lulusan UIN akan menjadi ilmuwan-ilmuwan yang dapat diandalkan dengan dibarengi dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Yang dalam hidup dan kehidupannya  nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dan apresiasikan dalam masyarakat dan menjadi tauladan bagi umat manusia.














C.     PENUTUP
Pendidikan sangat penting bagi kehidupan. Pendidikan merubah budaya dan peradaban umat manusia. Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik dan tak ada habis-habisnya selagi sejarah umat manusia masih ada. Pendidikan Islam sering manjadi perbincangan dalam skala besar maupun kecil, dimeja makan maupun di seminar-seminar, tetap tidak membuat jenuh yang mendiskusikannya, karena senantiasa berkembang dan akan selalu eksis, terutama terkait dengan upaya  membangun sumber daya manusia muslim.
Pendidikan Islam sebagai sub dari pendidikan Nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan pendidikan Nasional.
Pemerintah telah banyak memberikan fasilitas, walaupun dari sisi lain masih kurang mengena. Namun telah kita rasakan dari berbagai kebijakan-kebijakan yang ada, baik itu berupa SKB maupun UU tentang pendidikan agama dan keagamaan. Inilah kesempatan bagi umat beragama lebih khusus lagi umat Islam untuk memanfaatkan dan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah disediakan.










DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Bandung, Rosda, 2001
__________, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2009
Shaleh , Abdul Rachman, pendidikan Agama Dan Keagamaan; Visi, Missi Dan Aksi, Jakarta, GEmawindu, 2000
Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan,Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2008
Tilaar,H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami  Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Sebagai Kebijakan Public,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008





[1] Muhaimin, Paradigm Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  h. 36
[2] Ibid, h. 75
[3] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan; Visi, Missi Dan Aksi, (Jakarta, Gemawindu, 2000), h.  2
[4] Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan, (Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2008), h. 86
[5] Muhaimin, Op. Cit., h. 78
[6]Ibid.,  h. 78
[7] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Sebagai Kebijakan Public, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 137
[8] Muhaimin, Op. Cit.,h. 183
[9] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 255
[11] Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan, Jakarta: Rajawalipress, 2009, h. 127
[13] Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan, Jakarta: Rajawalipress, 2009, h.194